Jumat, 30 Desember 2011

Pengusaha Paksa Buruh Hamil Bekerja

Kondisi yang di alami buruh perempuan ini sungguh tragis, sebut saja namanya karmila seorang buruh pabrik rokok PT. Karya Timur Prima yang berkedudukan di jalan karya timur kota malang. Perusahaan yang meproduksi rokok ini hampir secara keseluruhan adalah buruh perempuan. Karmila adalah salah satu dari buruh yang bekerja di pabrik ini mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi.

Pada bulan September 2011 kemarin umur kehamilannya genap 8 bulan. Dia telah berkali-kali meminta kepada pihak perusahaan untuk istirahat bekerja karena setiap harinya dia selalu mengeluh sakit pada bagian punggungnya akibat bobot janin yang dikandung sudah besar. Namun pihak perusahaan bergeming tidak mempedulikan permohonannya tersebut dan pihak perusahaan tidak akan membayar upahnya jika dia memaksakan untuk cuti yang semestinya dia dapatkan.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal 82 ayat (1) yang berbunyi :

“Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan”

Sudah jelas dalam pasal diatas dijelaskan bahwa seorang buruh perempuan mempunyai hak cuti sebelum dan sesudah melahirkan. Bahkan selama cuti, buruh berhak mendapatkan upah yang sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Namun, pada kenyataannya sampai saat ini perusahaan tersebut tidak menghiraukan permintaan buruh sehingga Karmila memaksakan diri untuk tidak bekerja demi keselamatan janinnya meskipun tidak dibayar oleh perusahaan.

Meskipun kasus ini telah dilaporkan kepada Disnakersos kota malang hingga saat ini, tidak ada tindakan konkrit yang dilakukan oleh pemerintah yang terkesan lebih berpihak kepada kepentingan pengusaha. Dinas tenaga kerja khususnya pengawas ketenagakerjaan yang dalam hal ini mempunyai wewenang untuk menindak tegas pengusaha yang telah melakukan pelanggaran. Menurut undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal 185 ayat (1) dan (2) menjelaskan bahwa

  1. Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
  2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

Artinya, seorang pengusaha yang tidak memberikan hak cuti melahirkan kepada buruhnya telah melakukan tindak pidana kejahatan. Ketegasan pemerintah menjadi sebuah kunci bagi kebebasan kaum buruh dan peringatan bagi pengusaha yang semena-mena terhadah kaum buruh. Telah menjadi rahasia publik bahwa pemerintah hari ini sering kali lebih cenderung membela kepentingan pengusaha dari pada kaum buruh.

Oleh karena itu, kebebasan kaum buruh di negeri ini hanyalah sebuah mimpi belaka yang sampai kapanpun tidak akan pernah terwujud. (Don_Brow)
Baca Selengkapnya

Kamis, 15 Desember 2011

Buruh UD. Shanty Dewi Tuntut Pengusahanya Dipenjara

Perusahaan UD. Shanty Dewi adalah perusahaan yang bergerak di bidang bordir. Perusahaan ini mempekerjakan 20 orang pekerja dengan sistem shift.  Sejak tahun 2006 buruh harus bekerja 9 jam kerja sehari, dari jam 7 pagi hingga jam 5 sore. Setiap hari para buruh harus mematuhi target produksi yang diperintahkan oleh pengusaha. Selama 9 jam kerja mereka harus mencapai 2.500.000 stich (stich = tusukan), yang seharusnya dapat dicapai dengan kemampuan normal selama 12 jam. Dengan target produksi sebesar itu, buruh mengeluh karena selalu tidak mencapai target. Sehingga, upah yang diterima setiap bulannya harus dipotong karena tidak mencapai target.

Buruh yang dalam satu bulan digaji hanya 500.000 rupiah, harus menerima kenyataan gajinya dipotong sehingga upah yang mereka terima sangat jauh di bawah Upah minimum. Hal inilah yang membuat para buruh memprotes kebijakan perusahaan yang dirasa sangat tidak manusiawi. Sebelumnya mereka masih dapat menerima perlakuan pengusaha yang hanya menggaji mereka sebesar 500.000. Namun, 3 tahun kemudian mereka sudah tidak kuat menahan perlakuan pengusaha disamping kebutuhan hidup yang terus naik harus memaksa mereka mecari pemasukan lain demi memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Pada tahun 2009 upah yang mereka terima tetap tidak mengalami kenaikan, yaitu 500.000 rupiah yang akhirnya memaksa buruh harus melawan pengusaha dengan melakukan mogok kerja selama 3 hari. UMK Kota Malang pada tahun 2009 yang sudah mencapai 945.373 Rupiah menjadi tuntutan buruh, dan hak-hak normative lainnya yang sama sekali tidak diberikan oleh pengusaha. Upaya mogok kerja yang dilakukan para buruh UD. Shanty Dewi tidak direspon sama sekali oleh pengusaha. Sebaliknya, pihak pengusaha mengancam buruh dengan PHK bagi mereka yang melakukan mogok kerja. Tidak kuat dengan kondisi kerja yang menekan mereka akhirnya mereka bertekad untuk melaporkan pengusaha UD. Shanty Dewi kepada dinas tenaga kerja khususnya pengawas ketenagakerjaan. Dengan bantuan serikat buruh SPBI (Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia) Kota Malang buruh meminta pengawas ketenagakerjaan Disnakersos Kota Malang mempidanakan pengusaha UD. Shanty Dewi karena telah membayar upah buruh dibawah UMK, dan juga tidak memberikan hak-hak normative lainnya seperti, THR yang hanya diberikan 50% dari UMK, tidak diikutkannya buruh dalam program Jamsostek.

Pada bulan september 2010 buruh UD. Shanty Dewi bersama Serikat Buruh SPBI melaporkan kasus ini kepada pengawas ketenagakerjaan Disnakersos Kota Malang. Sejak dilaporkannya kasus ini para buruh dilarang bekerja kembali dengan alasan yang tidak jelas. Hal tersebut tidak menyurutkan niat para buruh terus menuntut pengusaha segera membayar hak-hak normative yang menjadi kewajiban pengusaha dan juga buruh mendesak pengusaha mempekerjakan mereka kembali, karena buruh merasa tidak pernah melakukan kesalahan.

Terhitung hingga saat ini, satu tahun lamanya pengawas ketenagakerjaan Disnaker Kota Malang  belum memberikan konfirmasi kapan kasus ini dapat diselesaikan, dan terkesan lambat dalam menangani kasus ini. Bahkan pada saat ditanya oleh pimpinan serikat buruh, pihak pengawas hanya menyarankan untuk menunggu karena prosesnya sangat panjang, dan saat ini berkas perkara telah disampaikan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Malang dan kasus ini telah dinyatakan P-21.

Dengan pernyataan tersebut, pihak Buruh UD. Shanty Dewi dan SPBI selaku kuasa hukum terus akan melakukan upaya-upaya penekanan terhadap pemerintah hingga kasus ini tuntas dan pihak pengusaha mendapatkan hukumannya karena telah bertindak sangat tidak manusiawi dan melanggar aturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan harapan, tidak ada lagi pengusaha di Indonesia dan Kota Malang khususnya bertindak semena-mena terhadap kaum buruh. (Don_Brow).
Baca Selengkapnya