Pemutusan hubungan kerja ‘berbau’ dugaan pemberangusan kegiatan berserikat kembali terjadi. Kali ini menimpa Edy Pramana dan keenam rekannya yang bekerja di PT Shandy Putra Makmur (SPM), perusahaan penyedia tenaga kerja sekuriti. Edy dkk dipecat pada Desember 2010 setelah mendirikan dan beraktifitas di Serikat Pekerja PT SPM (Sepaham).
Tak terima dengan pemecatan itu, Edy dkk menggugat ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta. Mereka menuntut dipekerjakan kembali dan upah yang belum dibayarkan selama proses perselisihan ini berlangsung.
Sengketa antara Edy dkk dengan pihak manajemen dimulai ketika Sepaham terbentuk pada tahun 2009 dimana Edy dkk menjadi pengurusnya. Lewat Sepaham, Edy dkk menuntut peningkatan kesejahteraan. Salah satunya soal status hubungan kerja. Mereka menuntut dijadikan sebagai pekerja tetap. Maklum, Edy c.s selama ini dipekerjakan sebagai pekerja outsourcing untuk posisi sekuriti. Sudah lima tahun mereka ditempatan di kantor PT Telkomsel di Jakarta.
Selama bekerja itu pula Edy dkk merasa dicurangi PT SPM. Contohnya adalah Edy dkk tidak pernah menerima uang penghargaan. Padahal Edy dkk tahu bahwa PT Telkomsel selalu memberikan uang penghargaan itu tiap tahun kepada PT SPM.
“Kita dapat informasi dari pihak PT Telkomsel kalau uang penghargaan itu diberikan untuk pekerja. Setelah ada desakan dari pekerja akhirnya mulai tahun 2008 uang itu diberikan,” aku Edy kepada hukumonline di PHI Jakarta, Rabu (22/2).
Tidak cuma itu. Edy dkk juga menanyakan kejelasan iuran Jamsostek, upah pokok di bawah upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta dan kekurangan hak atas upah lembur.
Banyak cara dilakukan Edy dkk untuk memperjuangkan haknya. Mulai dari berkirim surat mengajak berunding, aksi demonstrasi hingga melakukan mogok kerja pada pertengahan tahun 2010. Pasca aksi itu sejumlah anggota Sepaham malah dimutasi dan di-PHK.
Upaya mengadu ke sejumlah instansi seperti Komnas HAM dan Polda Metro Jaya sejauh ini belum membuahkan hasil positif.
Alih-alih menuntaskan persoalan yang ada, pihak manajemen malah menerbitkan surat mutasi kepada Edy dkk sekitar Agustus 2010. Pihak pekerja tentu saja menolak mutasi itu karena menganggap tidak ada dasar yang jelas dalam melakukan mutasi. Dan mensinyalir hal ini adalah bagian dari tindakan pemberangusan serikat pekerja. Atas dasar itu Edy dkk sempat tidak kembali ke lokasi kerja selama lebih dari sebulan.
Kuasa hukum pihak pekerja dari LBH Aspek Indonesia, Singgih D. Atmadja bertutur bahwa Edy dkk pernah menerima surat pemanggilan bekerja yang ketiga. Tapi saat kembali ke lokasi kerja pada Oktober 2010, pihak manajemen tidak membolehkan Edy dkk menginjakan kaki ke dalam kantor. Walau begitu pihak pekerja tetap melakukan tugasnya sebagai sekuriti menjaga kantor PT Telkomsel.
“Ketika memenuhi panggilan ketiga mereka nggak boleh masuk,” kata Singgih kepada hukumonline di PHI Jakarta, Rabu (22/2).
Melihat perkara yang tak kunjung tuntas akhirnya pihak PT Telkomsel memfasilitasi Edy dkk dan pihak manajemen PT SPM untuk melakukan perundingan. Hasil kesepakatan dalam perundingan itu dituangkan ke dalam notulensi perundingan tertanggal 27 Oktober 2010.
Kala itu pihak manajemen PT SPM secara lisan berjanji akan membuat jadwal kerja untuk Edy dkk. Tapi pihak pekerja merasa itu adalah janji palsu, sebab Edy dkk tidak melihat pihak manajemen menepati janjinya itu. Malah pada Desember 2010 pihak manajemen memutus hubungan kerja Edy dkk.
Terpisah, kuasa hukum pihak manajemen Sofyan Thamrin menyebut Edy dkk telah mangkir dari pekerjaannya sehingga dikualifikasikan mengundurkan diri. Padahal, pihak manajemen telah melakukan beberapa pemanggilan tapi hal itu tidak diindahkan, lanjutnya. Atas dasar itu pihak manajemen tidak memberi kompensasi pesangon kepada pekerja.
“Mereka tidak masuk kerja selama tiga bulan, mangkir. Kami kualifikasikan mengundurkan diri,” kata dia singkat kepada hukumonline usai sidang di PHI Jakarta, Rabu (22/2).
(sumber : hukumonline.com/ady)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar