Selasa, 21 Februari 2012

Putusan MK Tentang Outsourcing Diragukan Terimplementasi

Penggunaan jasa penyedia tenaga kerja menjadi tren di tengah perkembangan persaingan bisnis yang semakin kompetitif. Pengusaha berlomba untuk mencari cara bagaimana mendapatkan hasil yang maksimal dengan pengeluaran yang minimal. Terkait dengan penggunaan tenaga kerja, maka jasa outsourcing menjadi salah satu solusinya.

Dilihat dari sudut pandang pengusaha, menggunakan jasa outsourcing dapat mempermudah merekrut tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Termasuk juga mudah ketika ingin memutuskan hubungan kerja.

Sebelum ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 27/PUU-IX/2011 pengusaha dapat merekrut dan memberhentikan tenaga kerja kontrak atau outsourcing sesuai kebutuhan. Selain itu pengusaha tidak perlu repot-repot membayar kompensasi pesangon jika melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Inilah kunci kenapa pengusaha gandrung mengunakan outsourcing. Dengan begitu pengusaha dapat memperkecil biaya pengeluaran perusahaan.

Namun setelah MK menerbitkan keputusan itu pengusaha tidak dapat leluasa memberhentikan pekerja begitu saja. Pengusaha harus menjamin bahwa hak pekerja terlindungi walau perusahaan outsourcing yang mempekerjakan berganti. Dalam ketentuan itu dapat diartikan bahwa masa kerja pekerja tetap dihitung dan mendapatkan pesangon jika terkena PHK. Itulah yang menjadi sorotan bagi pihak pengusaha atas putusan tersebut. Jika hal itu diberlakukan maka pengusaha akan menambah biaya pengeluaran tambahan untuk pekerja.

Wakil Sekretaris Umum (Wasekum) Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Iftida Yasar menyebutkan secara hukum putusan MK itu belum dapat diimplementasikan. Karena yang terikat hubungan kerja yaitu antara pekerja dan perusahaan outsourcing. Dalam praktiknya seringkali perusahaan pengguna tenaga kerja mengganti rekanan perusahaan outsourcing lewat mekanisme tender.

Ketika muncul pemenang tender maka secara otomatis perusahaan outsourcing yang lama diganti. Terkait dengan putusan MK berarti perusahaan outsourcing pemenang tender melanjutkan pengelolaan tenaga kerja yang di-outsourcing pada perusahan pengguna tenaga kerja.

Bagi Iftida, yang menjadi masalah apakah perusahaan outsourcing itu mau menanggung hak pekerja yang telah bekerja di perusahaan outsourcing sebelumnya. Pengalihan hak pekerja ini yang menjadi polemik dalam menjalankan putusan MK. Dan dari segi bisnis hal ini juga tidak mungkin dilaksanakan. Karena perusahaan outsourcing yang baru menang tender itu secara finansial belum cukup kuat untuk mempersiapkan pesangon bagi pekerja. Maka harus ada kesepakatan terlebih dahulu antara perusahaan pengguna dan penyedia tenaga kerja terkait hal ini.

“Kalau tidak ada penjelasan siapa yang bertanggung jawab, perusahaan vendor (penyedia tenaga kerja, -red) tidak akan mau menerima karyawan lama. Masalah ini terjadi karena hand over,” kata dia kepada hukumonline lewat telepon, Senin (20/2).

Ujung-ujungnya dari segi ekonomis putusan MK menambah biaya pengeluaran lebih bagi pengusaha, lanjut Iftida, terutama bagi perusahaan pengguna jasa tenaga kerja. Dengan adanya ketentuan itu maka perusahaan outsourcing akan memasukan hak pekerja dalam komponen biaya yang harus dibayar pihak pengguna jasa. Ada tambahan biaya sebesar 40 persen untuk menjamin kompensasi pesangon dan hak pekerja lainnya.

Lebih lanjut Iftida menjelaskan jika menggunakan jasa outsourcing dalam mengelola tenaga kerja, maka pihak pengguna jasa tidak perlu mempekerjakan pekerja secara terus menerus. Untuk pekerjaan yang termasuk dalam PKWT sebagaimana Pasal 59 UU Ketenagakerjaan jangka waktu kontrak kerja pertama selama tiga tahun, kemudian dapat diperpanjang sampai dua tahun. Setelah itu pengusaha dapat mengganti tenaga kerja lama dengan yang baru. Cara ini dapat digunakan untuk memangkas biaya pengeluaran pengusaha.

Dampak sosial
Iftida juga mengingatkan ada dampak sosial yang akan timbul jika pengusaha tidak mau mempekerjakan pekerja secara terus-menerus yaitu menjamurnya pengangguran usia muda. Selain itu pekerja akan berpindah-pindah lokasi kerja karena kontrak kerjanya dengan perusahaan lama telah habis dan mencari perusahaan baru.

“Kalau dia (perusahaan pengguna jasa, -red) tidak ikut campur sebetulnya tidak perlu dikaryawankan terus-menerus, begitu selesai (kontrak kerja,--red) dikeluarin,” tutur salah satu pembina di Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (ABADI) itu.

Terpisah, pengajar Hukum Ketenagakerjaan Universitas Trisakti Yogo Pamungkas menjelaskan bahwa outsourcing merupakan sistem manajerial dalam tenaga kerja. Ditujukan untuk membuat labor cost menjadi efektif dan efisien. Jadi ada biaya pengeluaran yang dapat dipotong dari hak pekerja, terutama kompensasi PHK.

Putusan MK tersebut bagi Yogo dibutuhkan untuk melindungi pekerja jika kontraknya diputus oleh perusahaan pengguna tenaga kerja kontrak atau outsourcing. Putusan MK memberi solusi apakah pekerja itu dipekerjakan secara terus-menerus (pekerja tetap) di perusahaan pengguna atau penyedia jasa tenaga kerja.

Yogo melanjutkan, agar putusan MK tersebut dapat dijalankan perusahaan outsourcing harus memiliki performa yang kuat di bidang keuangan dan penyediaan tenaga kerja. Dari hasil pantauannya selama ini untuk menyuplai tenaga kerja outsourcing biasanya dibentuk semacam yayasan atau perusahaan yang sifatnya sementara.

Tergantung kebutuhan perusahaan yang bersangkutan atas tenaga kerja. Setelah permintaan akan tenaga kerja di perusahaan tersebut sudah tidak ada maka perusahaan outsourcing itu bubar. Hal ini menyebabkan performa perusahaan penyedia tenaga kerja tidak cukup kuat untuk menjamin keberlanjutan bisnisnya itu.

Bila perusahaan outsourcing didirikan dengan mekanisme seperti itu maka perlindungan terhadap tenaga kerja tidak dapat diwujudkan. Serta posisi tawar perusahaan outsourcing kepada perusahaan pengguna jasa tenaga kerja akan lemah, sebab tidak memiliki kompetensi inti yang mumpuni. Tapi dari sisi pengusaha hal seperti itu dapat memangkas biaya operasional karena perekrutan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan perusahaannya.

“Dia (pengusaha,--red) akan mempekerjakan selama tiga tahun setelah itu ganti pekerja. Tiga tahun, ganti lagi. Kebutuhan pengusaha akan pekerja terpenuhi tapi pekerja itu sendiri tidak terlindungi,” ujar Yogo.

Yogo mengusulkan agar perusahaan outsourcing dibentuk dan dikelola secara profesional sehingga berkualitas. Dan jenis tenaga kerja yang disediakan harus variatif, mulai dari pekerjaan bersifat sederhana sampai pekerjaan yang membutuhkan kemampuan tinggi.

Bila dikelola dengan baik maka perusahaan outsourcing dapat meningkatkan kompetensi inti dan keuangan perusahaan. Misalnya ada salah satu perusahaan rekanan yang memutus kontrak bisnis pada suatu bidang tenaga kerja tertentu, maka perusahaan outsourcing tidak kehilangan pemasukan.

Karena masih punya kontrak bisnis dengan perusahaan lain yang menggunakan jasanya untuk tenaga kerja bidang tertentu. Sehingga pemasukan bagi perusahaan dapat dijaga dan mampu menciptakan subsidi silang antar satu jenis tenaga kerja dengan lainnya. Usulan ini tentu saja ditujukan untuk melindungi hak pekerja sebagaimana dijelaskan dalam putusan MK.

Atas dasar itu perusahaan outsourcing dapat menjawab kebutuhan pasar atas berbagai macam jenis tenaga kerja mulai dari cleaning service, jasa keamanan, buruh bangunan, ahli komputer, arsitek dan lainnya. Dengan adanya hal itu Yogo berharap keuangan perusahaan outsourcing akan kuat dan dapat menjamin hak pekerja.

Selain itu Yogo menekankan agar pemerintah menerbitkan aturan teknis yang jelas sehingga dapat meningkatkan kualitas perusahaan outsourcing. Misalnya dengan mensyaratkan bahwa badan penyelenggara outsourcing minimal berbentuk perseroan terbatas, memiliki modal minimal dalam jumlah tertentu dan syarat lain.

“Ketika performa perusahaan outsourcing tidak memenuhi syarat seperti usulan tadi, saya pikir tidak akan jalan (implementasi putusan MK,--red). Berat soalnya kalau tiba-tiba dia jadi pekerja tetap di perusahaan outsourcing” pungkasnya.

(sumber: hukumonline.com/ady)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar