Kamis, 12 Januari 2012

Di Tengah Deru Himpitan Mesin-Mesin Pabrik

1. Sekilas tentang pabrik Pe Hei

PT. Pei Hai Internasional Wiratama Indonesia dibangun pada tahun 1994. Lokasi pabrik sekarang berada di Jalan Raya Mojoagung km. 71 Peterongan, Kabupaten Jombang. Dan kantor pemasaranya di Komplek Ruko Villa bukit Mas blok RE-22, JL. H. Abdul Wahab Siamin Surabaya. Perusahaan Pe Hei ini merupakan perusahaan PMA (Penanaman Modal Asing) asal Taiwan.

Jumlah buruh yang dipekerjakan ada 4.200 orang, yang mayoritas 90 persen merupakan tenaga lokal. Ada 8 line produksi dengan kapasitas produksi 12.000 pasang sepatu per hari, dan 300.000 pasang sepatu perbulan. Merek-merek yang di produksi di pabrik ini merupakan merek produk fesyen yang mendunia; seperti Dolce dan Gabbana--yang sering disingkat dengan label D&G. Tidak hanya memproduksi sepatu trendi merek D&G, perusahaan ini juga memproduksi sepatu olahraga dengan merek Goex, serta mengerjakan pesanan dari Armani Jeans. Investasi yang ditanamkan mencapai Rp 94,12 juta dan 14,3 juta dolar AS (sekitar Rp 130 miliar). Seluruh hasil produksi ini diekspor ke sejumlah negara di dunia; seperti ke Amerika Serikat, Italia, Turki, dan Irak, dengan kisaran omset penjualan senilai US$ 16,1 .


2. Kondisi Kerja dan Persoalan Hak Normatif

Para buruh di PT Pei Hai bekerja selama 5 hari kerja, mulai dari hari senin sampai jum’at, dari pukul 07.00 pagi sampai 18.00 (6 sore). Setelah melalui 8 jam kerja tersebut, mereka diharuskan lagi kerja lembur 2 jam. Pada hari sabtu dan minggu buruh tetap masuk bekerja dengan status kerja lembu--yang upah satu jamnya bagi buruh harian lepas hanya Rp. 5.000.
 
Banyak persoalan perburuhan yang terjadi di pabrik sandal ini, di antaranya; upah yang rendah, upah lembur yang tidak dibayar, perubahan sistem kerja tetap menjadi sistem kerja harian lepas, uang pesangon yang tidak sesuai aturan, buruh harian lepas tidak diikutsertakan dalam program jamsostek. Dan masih banyak persoalan lain terkait dengan hak-hak buruh yang belum terpenuhi.

Pada Tahun 2010 Tunjangan Hari Raya (THR) hanya mendapatkan Rp. 25.000 – Rp. 90.000 untuk masa kerja 3 bulan sampai 5 tahun, setelah hari raya mendapatkan tambahan Rp. 100.000. Tahun 2011 buruh yang dianggap harian lepas mendapatkan THR bervariasi; mulai Rp. 289.000 sampai Rp. 433.000, dan bahkan pekerja bangunan, kebersihan dan juru parkir hanya mendapatkan sebuah sarung.

Jika terjadi PHK, bagi buruh yang sudah bekerja lebih dari 25 tahun, uang pesangon mereka hanya Rp 10 juta. Ijin haid dan hamil yang diberikan kepada buruh tidak sesuai dengan aturan. Buruh harian lepas saat mereka sakit atau mengalami kecelakaan kerja hanya di ganti uang berobat sebesar Rp. 2.000.000. Dan jika biaya berobat melebihi Rp. 2 juta, maka biaya berobat tersebut harus ditanggung oleh buruh itu sendiri. Dan yang lebih menyakitkan, untuk mendapatkan uang berobat, buruh harus menunggu selama dua, baru uang berubat tersebut bisa cair.


3. Siapakah buruh itu?
 
Siapakah yang kenal dengan para buruh pabrik sesungguhnya? Benarkah para manajer, HRD, satpam, mandor, kabag mengenal siapakah mereka para buruh itu? Ada sekitar 4.200 buruh pei hai yang manyoritas perempuan yang bekerja di pabrik itu secara sepintas. Apakah para pemerintah, pengusaha, paham kondisi mereka? Begitu juga untuk para aktivis perburuhan yang mendampingi mereka, benarkah mereka mengenal baik permasalahan tentang anggota mereka, para buruh itu? Ditengah himpitan pabrik deru mesin pabrik-mesin jahit pabrik sepatu, mereka harus bekerja dari jam 07.00 pagi sampai jam 20.00 (08.00 malam) dan bekerja sebagai ibu rumah tangga saat mereka pulang. Buruh adalah mereka yang berpatisipasi secara langsung maupun tidak langsung di dalam produksi. Buruh adalah mereka yang menghasilkan sesuatu barang dan memberikan pelayanan yang dibutuhkan masyarakat. Buruh melakukan semua ini dengan jalan menjual tenaganya. Akhirnya, buruh adalah pekerja upahan di sektor industri yang terlibat secara besar-besaran untuk berbagai barang konsumsi dan modal. Oleh karena itu yang dikerjakan lebih bersifat kolektif, maka jarang sekali mereka menghargai dirinya secara individual. Mereka menghargai dirinya secara kolektif, karena adanya sifat ketergantungan dalam proses produksi. Kepentingan para buruh adalah upah yang adil. Melalui upah yang adil memungkinkan para buruh itu secara individu dan keluarganya hidup secara layak dan manusiawi, yang namanya partisipasi akan memperlihatkan dirinya secara nyata. Jika persoalan upah yang adil masih menjadi kendala bagi buruh. Maka janganlah menuntut partisipasi. Bahasa yang berkembang dalam hidup keseharian para buruh pada umumnya lugas, sederhana dan tidak berbelit-belit. Mereka hanya punya waktu luang sedikit untuk keperluan privasi mereka, seperti bersantai, nonton film, kumpul sama keluarga, karena ritme kahidupan mereka yang seperti ini, kerja lalu pulang ke rumah masing-masing tidur lalu bekerja kembali lagi dan pulang tidur, dan begitu seterusnya setiap hari. Ritme hidup mereka yang demikian, membuat mereka lebih sering mengenal komunitas diantara mereka sesama buruh yang terbatas. Mereka tidak mengenal sesama buruh yang tidak sesama bagian, misalnya; jarang sekali yang berada di bagian jahit akan mengenal yang berada di bagian design, meskipun mereka sama-sama berada dalam sift yang sama. Komunikasi yang terbatas itu membuat indentitas mereka tidak jelas dalam pergaulan sosial yang lebih luas, yakni sekitar tempat tinggal mereka. Siapakah mereka?


4. Di antara berbagai himpitan

a. Status kerja

Status kerja merupakan jaminan yang utama dalam bekerja. Status kerja sangat berpengaruh terhadap posisi tawar bagi buruh dalam perusahaan. Kenyataan yang ada dilapangan telah membuktikan, bahwa dampak status kerja dapat mengakibatkan upah murah, jamsostek, cuti haid, cuti hamil yang termasuk dalam perlindungan hak normatif bagi buruh selalu bisa dilanggar oleh pihak pengusaha meskipun ada ancaman sanksi baik pidana maupun juga denda.

Status kerja bagi buruh sangat berpengaruh dalam menentukan nasib buruh itu sendiri. Dengan adanya status yang pasti buruh akan ada kepastian kerja dan memperoleh uang pesangon di saat buruh sudah tidak mampu lagi bekerja di pabrik. Ada sekitar 4.200 buruh pei hai dengan 700 menjadi buruh tetap dan 3500 buruh yang bekerja dengan status harian lepas. Meskipun mereka sudah bekerja lebih dari 21 hari atau lebih selama tiga bulan berturut-turut, bahkan ada yang sudah bekerja 5-7 tahun statusnya masih jadi buruh harian lepas. Padahal dasar hukum yang mengatur tentang kerja kontrak, harian lepas (PKWT) dan tetap (PKWTT) yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No 13 tahun 2003 dalam pasal 59 dan 60 serta Kempen 100 tahun 2004 sudah sangat jelas. Jika buruh sudah bekerja sebagai harian lepas lebih dari 21 hari kerja atau 3 bulan secara terus menerus, maka perubahan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) harian lepas akan menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PWTT) alias tetap.

b. Upah yang rendah.

Kesejahteraan adalah hal yang diinginkan semua orang dalam hidup ini. Kesehatan, biaya sekolah anak, kebutuhan pangan, sandang, papan, rekreasi dan sebagainya harus dapat terpenuhi sehingga kehidupan seseorang (buruh) dan keluarganya dapat seimbang. Salah satu faktor agar terpenuhinya kesejahteraan adalah upah yang layak dimana untuk mendapatkan upah layak, kita harus memiliki standar upah minimum yang realistis yang dapat memenuhi kebutuhan minimum buruh. Namun, apakah upah minimum yang ada saat ini cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum buruh?

Permasalahan dalam upah minimum, secara umum dapat disebabkan oleh regulasi (peraturan perundang-undangan/ kebijakan) upah minimum yang tidak memadai, selain itu permasalahan upah minimum dapat disebabkan karena implementasi dalam proses penetapan upah minimum yang tidak sesuai serta stake holder (pihak-pihak yang berperan) dalam pembentukkan upah minimum ini tidak kompeten dan menetapkan kebijakan upah minimum secara sewenang-wenang.

Permasalahan upah minimum ini telah timbul bertahun-tahun lamanya di indonesia bagi kaum buruh khususnya buruh yang ada di pabrik pei hai. Meskipun mereka menghasilkan 12.000 pasang sepatu perhari yang kalu di rupiahkan harga sepatu itu bisa mencapai Rp. 16 Juta per pasang sepatu, namun upah mereka masih mengacu pada UMK kabupaten setempat sebesar 866.500 perbulan. UMK sebesar 866.55 di rasa oleh buruh tidak bisa mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari yang berdampak buruh harus bekerja lagi dengan sistem kerja lembur untuk menutupi kebutuhan hidupnya.

Serikat Pekerja/Buruh yang ada di perusahaan ini tidak mampu bernegosiasi dengan perusahaan untuk membuat upah layak yang di atur dalam perjanjian kerja bersama (PKB). Dengan adanya PKB ini buruh semestinya tidak lagi harus kerja lembur untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

c. Perlindungan Kesehatan, Keselamatan, dan Kecelakaan Kerja

Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas kerja adalah dengan memberikan perlindungan pada buruh selama dia bekerja. Perlindungan kerja diberikan dengan maksud agar buruh merasa aman dan nyaman bekerja di lingkungan kerjanya. Setiap buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas : kesehatan dan keselamatan kerja; moral dan kesusilaan serta perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama yang diaturar dalam pasal 86 ayat 1 UU 13/2003. Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang menyatu dengan sistem manajemen perusahaan seperti diatur dalam pasal 87 ayat 1 UU No. 13/2003.

Pelanggaran terhadap Pasal 87 UU 13/2003 adalah sanksi administratif berupa: teguran, peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha, pembatalan persetujuan, pembatalan pendaftaran, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi dan pencabutan ijin oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk di pasal 190 UU 13/2003.

Sekitar 3500 buruh yang bekerja di Pei hai ini tidak diikut sertakan dalam program jamsostek. Saat mereka sakit, melahirkan dan kecelakaan kerja perusahaan hanya menganti uang berobat sebesar dua juta rupiah. Perusahaan hanya sebagian memberikan keringanan dalam pembiayaan pengobatan bagi buruh yang tidak diikutkan jamsostek. Padahal menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Jamsostek jika buruhnya tidak diikutkan program jamsostek, maka sepenuhnya di tanggung oleh perusahaan ketika buruhnya sakit.

d. Menjadi Ibu rumah tangga.

Keluarga Mahalnya biaya pendidikan anak, pekerjaan suami yang tidak menentu, naiknya kebutuhan pokok dan bekerja menjadi Ibu rumah tangga bagi buruh perempuan ini menjadi masalah keseharian dalam hidup mereka. Disaat sebelum bekerja sebagai buruh pabrik mereka harus bagun pagi-pagi sekali untuk menyiapkan kebutuhan rumah tangga seperti memasak dan menyiapkan kebutuhan anak-anak mereka yang mau berangkat sekolah. Ini sebuah rutinitas yang dilakukan oleh buruh PT. Pei Hai dalam kesehariannya. Mereka baru kembali ke rumah pada jam 20.00 (08 malam) berkumpul dengan keluarga. Tidak punya banyak waktu untuk berkumpul dengan keluarga, karena mereka lelah bekerja dari pagi sampai larut malam, sehingga sesampai di rumah mereka langsung tidur.


5. Peran Serikat Buruh.

Peran Serikat Buruh SPSI dan SBSI Partisipasi dilihat oleh buruh pabrik sepatu ini, sebatas pada hubungan pertukaran tenaga dan upah. Tidak ada berbagai bentuk yang menyangkut tentang hak dan kewajiban antara buruh dengan perusahaan. Akibatnya banyak diantara para buruh yang merasa kurang dapat tercukupi hidupnya oleh gajinya, terpaksa lembur, karena para buruh di pabrik ini masih kurang memahami hukum maupun perjanjian kerja bersama karena terbatasnya informasi tentang hal itu. Adanya serikat buruh SPSI dan SBSI sebagai pelindung buruh sesunggunya tidak bisa memberikan perlindungan bagi para anggotanya, yakni para buruh. Informasi tentang perusahaan dan kondisi perburuhaan hanya di monopoli oleh kalangan pengurus serikat. Serikat-serikat yang ada tidak bisa berbuat apa-apa dengan kondisi pabrik yang sewenang-wenang terhadap buruh. Mereka tidak bisa mendampingi masalah yang di hadapi anggota, meskipun mereka di tarik iuran setiap bulan. Alokasi dana tidak jelas di buat apa, karena buruh merasa tidak ada perlindungan dari organisasi. SPSI dan SBSI lebih patuh pada garis yang telah ditentukan oleh perusahaan atau pemerintah Disnaker, bahkan pada akhirnya serikat menjadi perpanjangan tangan dari bentuk-bentuk yang menindas para buruh.


6. Dinas tenaga Kerja yang tidak berfungsi.

Lemahnya pengawasan, Dinas Tenaga kerja Persoalan perburuhan di Indonesia selalu menjadikan buruh sebagai korban.

Peran pengawasan yang di perankan oleh pemerintah adalah salah satu penyebab dari hal ini, selain itu juga karena kurangnya tanggung jawab serta tidak patuhnya pengusaha dalam menjalankan Undang-undang Ketenagakerjaan yakni UU 13 Tahun 2003. Hak-hak dasar buruh pei hai selalu dilanggar oleh para pemodal asal taiwan ini, namun tidak ada tindakan hukum dari pemerintah. Setiap pengaduan masalah pelanggar hak normatif buruh di pabrik sepatu dan sandal ini selalu yang terjadi adalah buruh dipaksakan untuk berkompromi dengan para pemodal. Mulai dari upah yang rendah, upah lembur yang tidak dibayar, perubahn sistem kerja tetap menjadi sistem kerja harian lepas bertahun-tahun, uang pesangon yang tidak sesuai aturan, buruh harian lepas tidak di ikut sertakan dalam program jamsostek sampai masalah PHK sepihak, Pemerintah melalui dinas ketenagakerjaan selalu lembek dalam memaksa perusahaan/para pemodal pabrik PT. Pei Hai Internasional Wiratama Indonesia untuk melaksanakan peraturan perburuhan sesuai dengan UU perburuhan. Kebijakan pemerintah yang tidak pernah pro terhadap buruh semakin memperparah nasib para buruh. Di berlakunya UU 2 tahun 2004 tentang PHI (Pengadilan Hubungan Industrial), para buruh di paksakan bertarung secara langsung dengan para pemodal di arena pengadilan. Tanpa perlindungan dari pemerintah. Fungsi pemerintah sebagai protektor hilang digantikan dengan mediator alias “wasit” dan yang menentukan siapa sebagai pemenang Buruh atau pemodal?

 
7. Kesimpulan

Dari uraian diatas bisa digambarkan mengenai kondisi buruh yang secara individual terlanggarnya hak-haknya sebagai berikut:

a. Hak politik

Dalam posisi yang dirugikan, buruh secara perorangan merasa takut untuk menuntut bahkan apa yang telah ditetapkan secara normatif oleh pemerintah. Untuk memulai suatu perjuangan memperbaiki nasib buruh harus dalam kelompok. Gerakan untuk membentuk kelompok ini sudah dihambat secara individual. Buruh yang berinisiatif akan menghadapi ancaman fisik maupun finansial yang kehilangan lapangan pekerjaan. Ditengah persaingan mendapatkan pekerjaan, posisi buruh semakin lemah. Buruh satu sama lain dibuat tidak yakin akan dukungan teman-temannya, dan bahwa mereka bersedia dan sanggup menghadapi ancaman-ancaman tersebut secara individual buruh menghadapi tuduhan yang lain dari akar masalahnya, seperti “Subversif” dan pengganggu produktivitas. Buruh kehilangan organisasi pelindung dalam situasi ketergantungan terhadap majikan. Buruh di Indonesia masih menghadapi hambatan mendirikan serikat pekerja/buruh di sebuah perusahaan sebagai alat perjuangan. Akibatnya, persoalan-persoalan normatif seperti status kerja, jaminan sosial, upah dan lain-lain masih tersingkir.

b. Hak ekonomi

Buruh kehilangan hak ekonominya bukan karena harus berkorban pada pembangunan ekonomi. Kenyataan buruh dikorbankan karena ekonomi biaya tinggi. Upah yang rendah dan kebutuhan pokok yang sering naik setiap tahunnya tidak memberikan sebuah jalan keluar dari himpitan ekonomi. Tidak ada tunjangan yang cukup bagi mereka yang sudah bekerja lama di perusahaan dan maraknya kerja kontrak, harian lepas dan outsourcing untuk menghidari kewajiban-kewajiban yang biasa diterapkan untuk buruh tetap. Buruh saat sudah tak mampu bekerja lagi karena sudah tua, hidup dalam kondisi melarat di sisa-sisa hidupnya.

c. Hak sosial

Untuk dapat memenuhi kebutuhan pokok dasarnya, buruh sering harus bekerja lembur hingga mengurangi kesempatannya untuk mengembangkan hubungan sosialnya. Kegiatan buruh menjadi tersegmentasi; hanya bergaul dengan terbatas, yaitu sesama buruh. Hak sosial yang tidak dimiliki buruh adalah kesempatan untuk memperbaiki taraf hidup. Perusahaan menempatkan buruh pada satu bidang keterampilan selama bertahun-tahun. Cara ini tentu menyempitkan peluang buruh mencari pekerjaan lebih baik di tempat lain. Dari sudut pandang sistem, buruh memanfaatkan sistem tersebut untuk memperluas pilihannya. (Rawi_Sukotjo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar