Rabu, 29 Februari 2012

PHK Tanpa Pesangon

PT. Pei Hai Internasional Wiratama Indonesia PHK Buruh Hamil Tanpan Pesangon.

Sejumlah buruh perempuan PT. PEI HAI Internasional Wiratama Indonesia yang memproduksi sepatu dengan merek Dolce dan Gabbana atau sering disingkat D&G yang berlokasi di Jalan Raya Mojoagung KM. 71 Peterongan, Kabupaten Jombang Jawa timur melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Mereka yang hamil untuk buruh yang dianggap berstatus harian lepas di-PHK tanpa pesangon sepeser pun.

Berdasarkan laporan yang kami himpun ada sekitar 10 orang buruh perempuan yang ketahuan hamil di PHK. Nama-nama tersebuat adalah Farida Mojokuripan, Siti Masrufah Tenggaran, Maslihatan Sumber Mulyo, Anis Wati Senggon Jombang dan Mei Sureni Mojokerto. Padahal mereka yang di PHK yang di anggap berstatus harian lepas ada yang sudah bekerja antara tiga dan lima tahun. Dengan adanya sistek kerja harian lepas bertahun-tahun seorang buruh perempuan seolah-olah di paksa untuk tidak hamil.

Perusahaan ini banyak melanggar hak-hak buruh perempuan seperti cuti haid, hamil, melahirkan dan tidak memberikan kesempatan menyusui bagi anak-anak mereka. Menurut Andini, untuk bisa mendapatkan cuti haid selama dua hari untuk buruh yang berstatus tetap harus menempuh birokrasi yang lama dan panjang. Yang paling tragis bagi mereka yang di anggap berstatus hari lepas tidak mendapatkan cuti haid, hamil dan melahirkan.

Menurut Pasal 81 UU No. 13/2003, buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid. Pada Pasal 76 ayat 2 UU Ketenagakerjaan,  Pengusaha dilarang mempekerjakan buruh perempuan yang sedang hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.

Berdasarkan Pasal 84 UU Ketenagakerjaan, setiap buruh yang menggunakan hak istirahat hamil dan melahirkan sebagaimana dimaksud Pasal 82 ayat (1) UUK, berhak mendapat upah penuh.

Padahal menurut dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menjamin hak buruh perempuan ketika dalam keadaan hamil. Pasal 153 (1) huruf e menyatakan ‘pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan: pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya’.

Pengusaha yang tidak memberikan masa istirahat kepada pekerja yang melahirkan atau keguguran kandungan sesuai ketentuan dalam UU dapat dikenalan sanksi pidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 4 tahun dan/atau denda minimal Rp 100 juta dan maksimal Rp 400 juta.

Dengan demikian, tindakan pengusaha yang melakukan pelanggran UU N0. 13/2003 sudah dikategorikan tindakan melawan hukum ketenagakerjan.



Ditulis oleh Forum Buruh Jombang (WCC, SPBI, PPBI, WADAS, SPBJ dan SPM).
Baca Selengkapnya

Kamis, 23 Februari 2012

Pekerja Outsourcing Dipecat Setelah Berserikat

"Sebelum dipecat, hak-hak para pekerja tersebut dikurangi terlebih dulu"

Pemutusan hubungan kerja ‘berbau’ dugaan pemberangusan kegiatan berserikat kembali terjadi. Kali ini menimpa Edy Pramana dan keenam rekannya yang bekerja di PT Shandy Putra Makmur (SPM), perusahaan penyedia tenaga kerja sekuriti. Edy dkk dipecat pada Desember 2010 setelah mendirikan dan beraktifitas di Serikat Pekerja PT SPM (Sepaham).

Tak terima dengan pemecatan itu, Edy dkk menggugat ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta. Mereka menuntut dipekerjakan kembali dan upah yang belum dibayarkan selama proses perselisihan ini berlangsung.

Sengketa antara Edy dkk dengan pihak manajemen dimulai ketika Sepaham terbentuk pada tahun 2009 dimana Edy dkk menjadi pengurusnya. Lewat Sepaham, Edy dkk menuntut peningkatan kesejahteraan. Salah satunya soal status hubungan kerja. Mereka menuntut dijadikan sebagai pekerja tetap. Maklum, Edy c.s selama ini dipekerjakan sebagai pekerja outsourcing untuk posisi sekuriti. Sudah lima tahun mereka ditempatan di kantor PT Telkomsel di Jakarta.

Selama bekerja itu pula Edy dkk merasa dicurangi PT SPM. Contohnya adalah Edy dkk tidak pernah menerima uang penghargaan. Padahal Edy dkk tahu bahwa PT Telkomsel selalu memberikan uang penghargaan itu tiap tahun kepada PT SPM.

“Kita dapat informasi dari pihak PT Telkomsel kalau uang penghargaan itu diberikan untuk pekerja. Setelah ada desakan dari pekerja akhirnya mulai tahun 2008 uang itu diberikan,” aku Edy kepada hukumonline di PHI Jakarta, Rabu (22/2).

Tidak cuma itu. Edy dkk juga menanyakan kejelasan iuran Jamsostek, upah pokok di bawah upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta dan kekurangan hak atas upah lembur.

Banyak cara dilakukan Edy dkk untuk memperjuangkan haknya. Mulai dari berkirim surat mengajak berunding, aksi demonstrasi hingga melakukan mogok kerja pada pertengahan tahun 2010. Pasca aksi itu sejumlah anggota Sepaham malah dimutasi dan di-PHK.

Upaya mengadu ke sejumlah instansi seperti Komnas HAM dan Polda Metro Jaya sejauh ini belum membuahkan hasil positif.

Alih-alih menuntaskan persoalan yang ada, pihak manajemen malah menerbitkan surat mutasi kepada Edy dkk sekitar Agustus 2010. Pihak pekerja tentu saja menolak mutasi itu karena menganggap tidak ada dasar yang jelas dalam melakukan mutasi. Dan mensinyalir hal ini adalah bagian dari tindakan pemberangusan serikat pekerja. Atas dasar itu Edy dkk sempat tidak kembali ke lokasi kerja selama lebih dari sebulan.

Kuasa hukum pihak pekerja dari LBH Aspek Indonesia, Singgih D. Atmadja bertutur bahwa Edy dkk pernah menerima surat pemanggilan bekerja yang ketiga. Tapi saat kembali ke lokasi kerja pada Oktober 2010, pihak manajemen tidak membolehkan Edy dkk menginjakan kaki ke dalam kantor. Walau begitu pihak pekerja tetap melakukan tugasnya sebagai sekuriti menjaga kantor PT Telkomsel.

“Ketika memenuhi panggilan ketiga mereka nggak boleh masuk,” kata Singgih kepada hukumonline di PHI Jakarta, Rabu (22/2).

Melihat perkara yang tak kunjung tuntas akhirnya pihak PT Telkomsel memfasilitasi Edy dkk dan pihak manajemen PT SPM untuk melakukan perundingan. Hasil kesepakatan dalam perundingan itu dituangkan ke dalam notulensi perundingan tertanggal 27 Oktober 2010.

Kala itu pihak manajemen PT SPM secara lisan berjanji akan membuat jadwal kerja untuk Edy dkk. Tapi pihak pekerja merasa itu adalah janji palsu, sebab Edy dkk tidak melihat pihak manajemen menepati janjinya itu. Malah pada Desember 2010 pihak manajemen memutus hubungan kerja Edy dkk.

Terpisah, kuasa hukum pihak manajemen Sofyan Thamrin menyebut Edy dkk telah mangkir dari pekerjaannya sehingga dikualifikasikan mengundurkan diri. Padahal, pihak manajemen telah melakukan beberapa pemanggilan tapi hal itu tidak diindahkan, lanjutnya. Atas dasar itu pihak manajemen tidak memberi kompensasi pesangon kepada pekerja.

“Mereka tidak masuk kerja selama tiga bulan, mangkir. Kami kualifikasikan mengundurkan diri,” kata dia singkat kepada hukumonline usai sidang di PHI Jakarta, Rabu (22/2).

(sumber : hukumonline.com/ady)
Baca Selengkapnya

Rabu, 22 Februari 2012

Ribuan Buruh Outsourcing Gresik Turun Jalan

Gresik - Ribuan buruh outsourcing yang tergabung dalam Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia (SPBI) Gresik melakukan aksi turun jalan. Selain melakukan aksi ini, ribuan buruh outsourcing tersebut juga ngeluruk kantor Pemkab Gresik menuntut perbaikan UMK serta tunjangan pensiun.

Aksi ini sempat membuat jalan-jalan yang dilalui ribuan buruh macet sehingga beberapa polisi sibuk mengatur arus lalu lintas untuk mengurai kemacetan.

Korlap SPBI Gresik Hakam mengatakan, aksi turun jalan ini terpaksa dilakukan mengingat selama ini upah buruh outsourcing sering terabaikan dibanding buruh yang bukan outsourcing. "Aksi ini terpaksa kami lakukan karena selama ini mediasi tuntutan buruh outsourcing belum ada solusinya," katanya kepada wartawan, Rabu (22/02/2012).

Selama melakukan aksi, ribuan buruh outsourcing juga mengajak buruh outsourcing lainnya untuk bergabung melakukan tuntutan mengenai upah dan tunjangan pensiun.

Saat berorasi dan melakukan aksi di Kantor Pemkab Gresik, ribuan buruh ini ditemui Bupati Gresik Sambari Halim Radianto. Bahkan, soal tuntutan yang diajukan buruh. Bupati Sambari Halim Radianto hanya bisa menjadi mediasi saja. "Saya siap memfasilitasi keluhan buruh outsourcing. Untuk soal-soal lain kami masih mengkaji lagi," ujar Bupati Gresik Sambari Halim Radianto.

Aksi turun jalan buruh outsourcing ini merupakan kedua kalinya dilakukan. Sebab, beberapa bulan lalu aksi serupa juga dilakukan untuk menuntut hak-haknya.[dny/ted]


(sumber: beritajatim.com)
Baca Selengkapnya

Dituduh Mencuri Angpau, Pekerja Hotel Dipecat

Pekerja PT Plaza Indonesia Realty Tbk (Grand Hyatt Jakarta) Susilawati Soehoed tak habis pikir atas tindakan pihak manajemen yang memutusan hubungan kerjanya. Ibu dari tiga orang anak ini telah bekerja di Hotel Grand Hyatt Jakarta bukan dalam waktu yang singkat. Dia bekerja sejak tahun 1991 dengan jabatan terakhir sebagai asisten manajer di bagian administrasi makanan dan minuman.

Selama 20 tahun bekerja wanita yang akrab dipanggil Susi itu mengaku tidak pernah mangkir kerja. Bahkan dia juga mengaku pernah mendapat apresiasi dari pemilik dan Direktur Utama PT. Plaza Indonesia Realty Tbk ketika itu, Rossano Barak.

PHK bermula ketika Susi dituduh melakukan serangkaian tindakan yang mengarah pada pidana. Yaitu membawa satu unit telepon genggam milik rekan kerjanya, hal ini didasari atas laporan pada 7 Februari 2011. Selain itu mengambil angpau senilai Rp6 Ribu pada saat perayaan Tahun Baru Cina di lokasi kerja, tuduhan ini atas laporan rekan kerja Susi pada 9 Februari 2011.

Sehari kemudian ada laporan kalau Susi meminta uang pada tiga rekan kerjanya yang mendapat jatah seragam kerja. Laporan yang diterima pihak manajemen itu dijadikan alasan untuk menskorsing Susi menuju PHK pada 9 Februari 2011.

Susi menolak tuduhan tersebut. Dalam perkara membawa telepon genggam Susi mengaku telah mengembalikan kepada pemiliknya yaitu rekan kerja Susi bernama Nur Rochmalia pada saat hari kejadian, 2 Februari 2011.

Ketika itu Susi dan Nur saling tukar program lewat telepon genggam, karena tergesa untuk pulang Susi membawa telepon genggam milik Nur itu. Tapi sebelum meninggalkan lokasi kerja Susi teringat dan langsung mengembalikannya. Begitu juga dengan tuduhan lain yang dialamatkan pada dirinya, Susi dengan tegas mengaku tidak pernah melakukannya.

“Mau dilaporin polisi, mau pakai sumpah, saya nggak takut. Tidak pernah berbuat kok. Handphone teman saya itu sudah saya kembalikan saat itu juga, saya tidak ada niatan mencuri, cuma tukaran data. Terus itu lagi uang angpau, ngapain saya ngambil, itu buat acara perayaan tahun baru Cina, buat angpau Barongsai itu loh. Nah satu lagi saya dituduh minta uang, buat apa saya ngelakuin itu? Saya nggak pernah kayak gitu,” tegas Susi kepada hukumonline di PHI Jakarta, Selasa (21/2).

Kuasa hukum Susi dari Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) Indonesia Odie Hudiyanto melihat secara hukum pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dijatuhkan prematur. Sebab jenis pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja tidak jelas. Pihak manajemen menuduh pekerja telah melanggar salah satu ketentuan di perjanjian kerja bersama (PKB) yang intinya memberi sanksi surat peringatan.

Pihak pekerja telah meminta kepada pihak manajemen pada Juli 2011 agar kasus pidana ini dilaporkan ke pihak kepolisian untuk diselesaikan secara tuntas. Tapi Odie melihat pihak manajemen belum melakukan hal itu sampai gugatan ini diajukan. Atas dasar itu pihak pekerja menganggap tuduhan pihak manajemen adalah rekayasa yang ditujukan hanya untuk mem-PHK pekerja.

Mengacu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.012/PUU-I/2003 Odie menyebut PHK dapat dilakukan setelah ada putusan pidana yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Atas dasar itu dalam gugatan perselisihan PHK yang diajukan ke PHI Jakarta, Susi menginginkan agar dipekerjakan kembali seperti posisi semula.

Sejak diskorsing pada Februari 2011 pihak manajemen masih membayar upah Susi. Tapi hanya berlangsung sampai Juni 2011. Terhitung sudah delapan bulan Susi tidak mendapatkan upah. Hal ini membuat Susi pusing tujuh keliling karena sejak empat tahun lalu dia bertindak sebagai orang tua tunggal dari ketiga anaknya yang masih bersekolah.

Apalagi Susi menunggak utang biaya sekolah yang sampai Januari 2012 jumlahnya mencapai Rp14 Juta. Oleh karenanya Susi memohon majelis hakim memberi putusan sela terlebih dahulu atas hak Susi berupa upah skorsing sejak Juli 2011 sampai ada putusan berkekuatan hukum tetap.

“Jika majelis hakim menjatuhkan putusan sela maka dampaknya bukan hanya dirasakan Susi tapi juga ketiga anaknya. Dalam bukti tambahan kita ajukan kepada majelis berupa surat keterangan tidak mampu dari Kelurahan. Serta surat tunggakan (dari sekolah,--red) yang harus dilunasi bulan ini, kalau tidak dilunasi maka anak pertama Susi tidak bisa ikut ujian akhir,” ujar Odie.

Dalam persidangan pihak manajemen mempertanyakan legal standing kuasa hukum pekerja karena berasal dari serikat pekerja di luar perusahaan. Menurut Odie kedudukan FSPM Indonesia di Grand Hyatt Jakarta memang dapat digolongkan dalam serikat pekerja di luar perusahaan. Namun menurutnya setiap pekerja bebas memilih organisasi manapun sebagai tempat untuk berserikat. Jadi keraguan pihak manajemen itu tak perlu dihiraukan.

Terpisah, kuasa hukum pihak manajemen Zulham Mulyadi Nasution bertutur bahwa hubungan kerja antara pihak manajemen dan pekerja sudah tidak harmonis lagi. Baginya pekerja telah melakukan serangkaian perbuatan yang menyebabkan si pemberi kerja tidak percaya lagi. Dari disharmoni itu maka pihak manajemen sudah tidak berniat mempekerjakan kembali pekerja, maka skorsing menuju PHK dijatuhkan.

Walau dipaksakan untuk bekerja kembali Zulham memprediksi tidak akan tercipta hubungan kerja yang baik antara pihak manajemen dan pekerja. Hal ini akan berakibat pada terganggunya objektifitas dari pihak manajemen dalam menilai kinerja pekerja. Jika ini terjadi maka pekerja itu sendiri yang dirugikan, lanjutnya.
“Dengan adanya gugatan ini, ada bantahan kami di persidangan itu sudah jelas menunjukan disharmoni. Apabila dipaksakan untuk dipekerjakan itu sudah nggak akan kondusif lagi,” kata dia.

Mengenai upah proses, Zulham menyebut pihak manajemen telah membayarnya sejak Februari 2011 sampai Juni 2011. Hal itu menurutnya sesuai dengan pasal 16 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kepmenakertrans) No: Kep-78/Men/2001. Pada intinya ketika melakukan skorsing pemberian upah selama skorsing paling lama enam bulan.

Pada persidangan hari Selasa (21/2) agenda sidang memasuki pengajuan bukti untuk putusan sela. Rencananya pekan depan majelis hakim akan memutus putusan sela yang diajukan pihak pekerja. Kita lihat saja apakah Susi berhasil memenangkan putusan sela untuk mendapatkan upah proses itu atau tidak.

(sumber: hukumonline.com/ady)
Baca Selengkapnya

Selasa, 21 Februari 2012

Tuntut Kenaikan Upah, Buruh Rokok di Malang Demo Perusahaan

Malang, Seruu.Com - Sedikitnya 300 buruh rokok linting PT Pakismas, Pakis, Malang, Jawa Timur, melakukan unjuk rasa menuntut kenaikan upah kepada manajemen pabrik di wilayah tersebut.

Salah satu buruh, Solikhati, Selasa (21/2) mengatakan, tuntutan kenaikan upah itu karena selama ini upah yang diterima para buruh tidak sesuai dengan kebutuhan sehari-hari, serta tidak sebanding dengan pekerjaannya.

Dikatakannya, tuntutan kenaikan upah yang diminta para buruh, yakni sebesar Rp12 ribu setiap kali melakukan aktivitas melinting sebanyak 1.000 batang rokok, dari awalnya Rp11.200/seribu batang.

"Kami hanya ingin ada kenaikan upah sebesar Rp12.000/seribu batang, dan tidak meminta apa-apa seperti Jamsostek atau lainnya," kata Solikhati ketika ditemui di wilayah Tajinan, Malang.

Sementara Ketua Harian Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia (SPBI), Muhammad Yusik As'adi yang memfasilitasi unjuk rasa para buruh itu mengatakan, kenaikan upah buruh rokok linting itu wajar dilakukan, karena upah yang diterima selama ini tidak sebanding dengan pekerjaannya.

"Kita hanya memfasilitasi mereka, dan mendesak perusahaan agar menaikan upah melinting rokok, sehingga bisa sebanding dengan pekerjaan yang mereka lakukan," katanya.

Yusik mengatakan, kenaikan upah itu sangat diharapkan para buruh yang sebagian besar adalah ibu-ibu, sebab bisa berdampak secara ekonomi dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Yusik mengaku, pihaknya akan membawa masalah kenaikan upah buruh rokok linting ini ke Disnaker Malang, sehingga bisa difasilitasi dan menemukan jalan keluar. [ant]


sumber: www.seruu.com
Baca Selengkapnya

Putusan MK Tentang Outsourcing Diragukan Terimplementasi

Penggunaan jasa penyedia tenaga kerja menjadi tren di tengah perkembangan persaingan bisnis yang semakin kompetitif. Pengusaha berlomba untuk mencari cara bagaimana mendapatkan hasil yang maksimal dengan pengeluaran yang minimal. Terkait dengan penggunaan tenaga kerja, maka jasa outsourcing menjadi salah satu solusinya.

Dilihat dari sudut pandang pengusaha, menggunakan jasa outsourcing dapat mempermudah merekrut tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Termasuk juga mudah ketika ingin memutuskan hubungan kerja.

Sebelum ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 27/PUU-IX/2011 pengusaha dapat merekrut dan memberhentikan tenaga kerja kontrak atau outsourcing sesuai kebutuhan. Selain itu pengusaha tidak perlu repot-repot membayar kompensasi pesangon jika melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Inilah kunci kenapa pengusaha gandrung mengunakan outsourcing. Dengan begitu pengusaha dapat memperkecil biaya pengeluaran perusahaan.

Namun setelah MK menerbitkan keputusan itu pengusaha tidak dapat leluasa memberhentikan pekerja begitu saja. Pengusaha harus menjamin bahwa hak pekerja terlindungi walau perusahaan outsourcing yang mempekerjakan berganti. Dalam ketentuan itu dapat diartikan bahwa masa kerja pekerja tetap dihitung dan mendapatkan pesangon jika terkena PHK. Itulah yang menjadi sorotan bagi pihak pengusaha atas putusan tersebut. Jika hal itu diberlakukan maka pengusaha akan menambah biaya pengeluaran tambahan untuk pekerja.

Wakil Sekretaris Umum (Wasekum) Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Iftida Yasar menyebutkan secara hukum putusan MK itu belum dapat diimplementasikan. Karena yang terikat hubungan kerja yaitu antara pekerja dan perusahaan outsourcing. Dalam praktiknya seringkali perusahaan pengguna tenaga kerja mengganti rekanan perusahaan outsourcing lewat mekanisme tender.

Ketika muncul pemenang tender maka secara otomatis perusahaan outsourcing yang lama diganti. Terkait dengan putusan MK berarti perusahaan outsourcing pemenang tender melanjutkan pengelolaan tenaga kerja yang di-outsourcing pada perusahan pengguna tenaga kerja.

Bagi Iftida, yang menjadi masalah apakah perusahaan outsourcing itu mau menanggung hak pekerja yang telah bekerja di perusahaan outsourcing sebelumnya. Pengalihan hak pekerja ini yang menjadi polemik dalam menjalankan putusan MK. Dan dari segi bisnis hal ini juga tidak mungkin dilaksanakan. Karena perusahaan outsourcing yang baru menang tender itu secara finansial belum cukup kuat untuk mempersiapkan pesangon bagi pekerja. Maka harus ada kesepakatan terlebih dahulu antara perusahaan pengguna dan penyedia tenaga kerja terkait hal ini.

“Kalau tidak ada penjelasan siapa yang bertanggung jawab, perusahaan vendor (penyedia tenaga kerja, -red) tidak akan mau menerima karyawan lama. Masalah ini terjadi karena hand over,” kata dia kepada hukumonline lewat telepon, Senin (20/2).

Ujung-ujungnya dari segi ekonomis putusan MK menambah biaya pengeluaran lebih bagi pengusaha, lanjut Iftida, terutama bagi perusahaan pengguna jasa tenaga kerja. Dengan adanya ketentuan itu maka perusahaan outsourcing akan memasukan hak pekerja dalam komponen biaya yang harus dibayar pihak pengguna jasa. Ada tambahan biaya sebesar 40 persen untuk menjamin kompensasi pesangon dan hak pekerja lainnya.

Lebih lanjut Iftida menjelaskan jika menggunakan jasa outsourcing dalam mengelola tenaga kerja, maka pihak pengguna jasa tidak perlu mempekerjakan pekerja secara terus menerus. Untuk pekerjaan yang termasuk dalam PKWT sebagaimana Pasal 59 UU Ketenagakerjaan jangka waktu kontrak kerja pertama selama tiga tahun, kemudian dapat diperpanjang sampai dua tahun. Setelah itu pengusaha dapat mengganti tenaga kerja lama dengan yang baru. Cara ini dapat digunakan untuk memangkas biaya pengeluaran pengusaha.

Dampak sosial
Iftida juga mengingatkan ada dampak sosial yang akan timbul jika pengusaha tidak mau mempekerjakan pekerja secara terus-menerus yaitu menjamurnya pengangguran usia muda. Selain itu pekerja akan berpindah-pindah lokasi kerja karena kontrak kerjanya dengan perusahaan lama telah habis dan mencari perusahaan baru.

“Kalau dia (perusahaan pengguna jasa, -red) tidak ikut campur sebetulnya tidak perlu dikaryawankan terus-menerus, begitu selesai (kontrak kerja,--red) dikeluarin,” tutur salah satu pembina di Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (ABADI) itu.

Terpisah, pengajar Hukum Ketenagakerjaan Universitas Trisakti Yogo Pamungkas menjelaskan bahwa outsourcing merupakan sistem manajerial dalam tenaga kerja. Ditujukan untuk membuat labor cost menjadi efektif dan efisien. Jadi ada biaya pengeluaran yang dapat dipotong dari hak pekerja, terutama kompensasi PHK.

Putusan MK tersebut bagi Yogo dibutuhkan untuk melindungi pekerja jika kontraknya diputus oleh perusahaan pengguna tenaga kerja kontrak atau outsourcing. Putusan MK memberi solusi apakah pekerja itu dipekerjakan secara terus-menerus (pekerja tetap) di perusahaan pengguna atau penyedia jasa tenaga kerja.

Yogo melanjutkan, agar putusan MK tersebut dapat dijalankan perusahaan outsourcing harus memiliki performa yang kuat di bidang keuangan dan penyediaan tenaga kerja. Dari hasil pantauannya selama ini untuk menyuplai tenaga kerja outsourcing biasanya dibentuk semacam yayasan atau perusahaan yang sifatnya sementara.

Tergantung kebutuhan perusahaan yang bersangkutan atas tenaga kerja. Setelah permintaan akan tenaga kerja di perusahaan tersebut sudah tidak ada maka perusahaan outsourcing itu bubar. Hal ini menyebabkan performa perusahaan penyedia tenaga kerja tidak cukup kuat untuk menjamin keberlanjutan bisnisnya itu.

Bila perusahaan outsourcing didirikan dengan mekanisme seperti itu maka perlindungan terhadap tenaga kerja tidak dapat diwujudkan. Serta posisi tawar perusahaan outsourcing kepada perusahaan pengguna jasa tenaga kerja akan lemah, sebab tidak memiliki kompetensi inti yang mumpuni. Tapi dari sisi pengusaha hal seperti itu dapat memangkas biaya operasional karena perekrutan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan perusahaannya.

“Dia (pengusaha,--red) akan mempekerjakan selama tiga tahun setelah itu ganti pekerja. Tiga tahun, ganti lagi. Kebutuhan pengusaha akan pekerja terpenuhi tapi pekerja itu sendiri tidak terlindungi,” ujar Yogo.

Yogo mengusulkan agar perusahaan outsourcing dibentuk dan dikelola secara profesional sehingga berkualitas. Dan jenis tenaga kerja yang disediakan harus variatif, mulai dari pekerjaan bersifat sederhana sampai pekerjaan yang membutuhkan kemampuan tinggi.

Bila dikelola dengan baik maka perusahaan outsourcing dapat meningkatkan kompetensi inti dan keuangan perusahaan. Misalnya ada salah satu perusahaan rekanan yang memutus kontrak bisnis pada suatu bidang tenaga kerja tertentu, maka perusahaan outsourcing tidak kehilangan pemasukan.

Karena masih punya kontrak bisnis dengan perusahaan lain yang menggunakan jasanya untuk tenaga kerja bidang tertentu. Sehingga pemasukan bagi perusahaan dapat dijaga dan mampu menciptakan subsidi silang antar satu jenis tenaga kerja dengan lainnya. Usulan ini tentu saja ditujukan untuk melindungi hak pekerja sebagaimana dijelaskan dalam putusan MK.

Atas dasar itu perusahaan outsourcing dapat menjawab kebutuhan pasar atas berbagai macam jenis tenaga kerja mulai dari cleaning service, jasa keamanan, buruh bangunan, ahli komputer, arsitek dan lainnya. Dengan adanya hal itu Yogo berharap keuangan perusahaan outsourcing akan kuat dan dapat menjamin hak pekerja.

Selain itu Yogo menekankan agar pemerintah menerbitkan aturan teknis yang jelas sehingga dapat meningkatkan kualitas perusahaan outsourcing. Misalnya dengan mensyaratkan bahwa badan penyelenggara outsourcing minimal berbentuk perseroan terbatas, memiliki modal minimal dalam jumlah tertentu dan syarat lain.

“Ketika performa perusahaan outsourcing tidak memenuhi syarat seperti usulan tadi, saya pikir tidak akan jalan (implementasi putusan MK,--red). Berat soalnya kalau tiba-tiba dia jadi pekerja tetap di perusahaan outsourcing” pungkasnya.

(sumber: hukumonline.com/ady)
Baca Selengkapnya

Senin, 20 Februari 2012

Buruh UD Shanty Dewi Geruduk PN Kota Malang

Puluhan buruh dari perusahaan UD Shanty Dewi, Kota Malang, Jawa Timur, mendatangi kantor Pengadilan di wilayah tersebut, Senin (20/2/2012).

Koordinator buruh, Muhammad Hamim mengatakan, kedatangan para buruh dari perusahaan konveksi dan bordir itu bertujuan mengawal kasus sengketa buruh dengan UD Shanty Dewi, terkait pembayaran upah buruh di bawah UMK Kota Malang.

Selain itu, juga terkait sengketa upah lembur para buruh, Jamsostek serta pekerjaan yang melebihi jam kerja, yakni 40 jam. “Kami mendesak agar pengusaha UD Shanty Dewi membayarkan upah sesuai UMK Kota Malang, sebab selama ini kami hanya dibayar di bawah standar UMK Kota Malang, yakni Rp550 ribu,” ucapnya.

Hamim mengaku, sebelum sengketa itu masuk ke pengadilan, pihaknya juga telah melapor ke Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota dan Kabupaten Malang, namun tidak ada hasil, sehingga dilaporkan ke pengadilan. “Kami ingin mengawal kasus pelanggaran ini di pengadilan, dan kami menuntut pengusaha UD Shanty Dewi dipenjarakan,” katanya.

Hamim berlasan, apa yang diperbuat pengusaha UD Shanty Dewi telah melanggar UU Ketenagakerjaan seperti dalam pasal 90 UU No 13 Tahun 2003. “Dalam UU itu, pengusaha yang melanggar terancam hukuman penjara paling lama empat tahun dan denda Rp100 juta,” tuturnya.

Pihaknya berharap, Pengadilan Negeri Kota Malang dapat memberikan putusan yang tegas, karena pelanggaran yang dilakukan pengusaha bersangkutan cukup serius.

(sumber: Antara)
Baca Selengkapnya

Jumat, 10 Februari 2012

Pengusaha UD. Shanty Dewi Wajib Dipenjara!

Munculnya UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang klaim pemerintah telah cukup melindungi kepentingan buruh, ternyata hanya isapan jempol belaka. Banyak dari para Pemodal (pengusaha) yang dengan terang-terangan merampas hak buruh tetap banyak dan semakin marak terjadi. Perhatian pemerintah terhadap nasib buruh semakin lama semakin hilang. Kejahatan ketenagakerjaan acapkali terjadi, dan pemerintah hanya berpangku tangan dan terkesan lebih berpihak kepada kepentingan pengusaha.

Dalam hal ini, tepatnya di Kota Malang sebuah perusahaan yang bergerak dibidang konveksi khususnya bordir, perusahaan UD. Shanty Dewi, telah melakukan pelanggaran kejahatan ketenagakerjaan sejak tahun 2009 dengan tidak membayar upah buruhnya sesuai UMK. Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia (SPBI) telah mendesak dan mengingatkan pengusaha UD. Shanty Dewi agar memenuhi hak buruh. Hak buruh yang menjadi kewajiban pengusaha terkait upah dan hak normatif lainnya sama sekali tidak dirasakan oleh buruh UD. Shanty Dewi. Bahkan para buruh harus mematuhi perintah pengusaha untuk meningkatkan target produksi perusahaan tanpa ada peningkatan kesejahteraan bagi buruh. Upah yang diterima setiap bulannya sebesar Rp. 500.000,- sejak tahun 2009, padahal UMK Kota Malang saat itu sebesar Rp. 945.373,-. Karena tidak kuasa menahan tekanan perusahaan akhirnya para buruh meminta bantuan kepada SPBI agar merundingkan permintaan buruh terkait upah yang sangat minim mereka terima.

Pada Bulan Pebruari 2010, antara Komite Pusat SPBI dan Pihak Perusahaan UD. Shanty Dewi yang diwakili pengacaranya melakukan perundingan dan telah disepakati pihak pengusaha wajib membayar upah buruh sebesar Rp. 800.000,- dan pada bulan maret 2010 dinaikkan sesuai UMK. Akan tetapi, pada bulan maret pihak tidak membayar upah buruh sesuai kesepakan bersama sehingga SPBI menganggap pihak pengusaha telah mengkhianati perjanjian, akhirnya permasalahan ini dilaporkan SPBI ke pengawasan ketenagakerjaan Disnakersos Kota Malang. Laporan tersebut menyangkut Pelanggaran UU No. 13 Tahun 2003 Tentang ketenagakerjaan Pasal 90 ayat 1 yaitu pengusaha dilarang membayar upah buruh dibawah UMK, pelanggaran UU No. 03 Tahun 1992 Tentang JAMSOSTEK Pasal 4 ayat 1 yaitu pengusaha wajib mengikutsertakan buruh dalam program jamsostek dan pelanggaran UU No. 13 Tahun 2003 Pasal 79 ayat 1 dan 2 poin c yaitu pengusaha wajib memberikan hak istirahat dan cuti tahunan kepada buruh

Dampaknya, pada bulan september 2010 pengusaha UD. Shanty Dewi yang merasa dirugikan akhirnya melarang para buruh bekerja tanpa mendapatkan upah sepeserpun. Karena perlakuan tidak adil tersebut para buruh bersama SPBI melakukan aksi massa ke gedung Disnakersos Kota Malang, meminta kepada pengawas untuk segera menindaklanjuti laporan pelanggaran pengusaha UD. Shanty Dewi. Namun, Pihak Disnakersos Kota Malang tidak menghiraukan tuntutan buruh, "Silahkan berunding dulu, mungkin saja nanti ada penyelesaian antara dua belah pihak", Jawab Salah pejabat Disnaker. Tidak Puas dengan Jawaban tersebut, SPBI kembali melakukan aksi massa dengan jumlah massa yang lebih besar. Akhirnya, Pengawas Disnaker mau memproses kasus tersebut dengan mengeluarkan Berita Acara Penyidikan (BAP) dan dilakukan proses Pro Justisia.

Baru pada bulan oktober 2011, berkas perkara pidana perburuhan UD. Shanty Dewi diserahkan kepada kejaksaan negeri malang dan dinyatakan telah lengkap (P-21). Selanjutnya, pada bulan desember 2011 berkas perkara dan tersangka diserahkan ke Kejaksaan Negeri Malang dan pada tanggal 09 Pebruari 2012 pengadilan negeri malang menggelar sidang perdana kasus ini dengan agenda pembacaan Dakwaan.

Berdasarkan kronologis diatas, menunjukkan betapa sulitnya bagi kaum buruh untuk mendapatkan keadilan dan jaminan hukum. Sudah 2 tahun kasus ini diproses oleh pemerintah namun hingga saat ini belum ada hasil yang jelas, Apakah pengusaha UD. Shanty Dewi benar-benar akan dipenjara? Hanya waktu yang dapat menjawab, melihat kondisi hukum di indonesia yang sangat bobrok dan busuk.

Maka dari itu, Komite Pusat Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia menyatakan sikap akan terus mengawal kasus ini sampai buruh benar-benar mendapatkan keadilan dan pengusaha UD. Shanty Dewi Wajib Dipenjara.

Lawan segala bentuk penindasan dan ketidakadilan...!!! Fight Capitalism, Long Live Socialism...!!!
Baca Selengkapnya

Kamis, 02 Februari 2012

Buruh Demo di Kejari Kota Malang

Puluhan buruh yang tergabung dalam Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesian (SPBI) Malang, Jawa Timur, menggelar aksi di Kejaksaan Negeri Kota Malang. Mereka menuntut agar pengusaha yang melanggar hukum ketenagakerjaan dipenjarakan sesuai dengan jenis pelanggarannya.

Walaupun hanya puluhan buruh yang menggelar aksi, tetapi ratusan personel kepolisian bersiaga di lokasi aksi. "Kami mendesak agar segera dihukum dan diadili pengusaha yang nakal," jelas koordinator aksi, Hamim Afan, Kamis (2/2/2012), ditemui di sela-sela aksi.

Pengusaha nakal itu, kata Hamim, adalah pengusaha yang tak membayar para buruh sesuai dengan Upah Minimum Kota Malang 2012 sebesar Rp 1.132.245. "Karena di Kota Malang masih banyak buruh yang dibayar tak sesuai UMK," tegasnya.

Seperti kasus yang terjadi pada buruh di UD Shanti Dewi, Kota Malang. Para buruh di perusahaan konfeksi itu mendapat upah di bawah Rp 900.000 per bulan. "Dampaknya, buruh kesulitan untuk memenuhi hak dasar untuk keluarganya," kata Hamim.

Tak hanya itu, dengan gaji demikian, anak-anak buruh setempat tak bisa menikmati pendidikan yang berkualitas. Bahkan, perusahaan jasa konfeksi itu telah memecat 20-an buruh secara sepihak. "Dari itu, kami menuntut agar pengusaha UD Shanti Dewi segera dihukum. Dia jelas melanggar hukum ketenagakerjaan. Pelanggaran itu jelas adalah kejahatan kriminal," kata Hamim lantang.

Kasus tersebut, menurut Hamim, sudah ditangani sejak setahun lalu. Perkara tersebut telah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Kota Malang. "Sidangnya dijadwalkan Senin (6/2/2012) mendatang dengan agenda membacakan dakwaan. Semoga menjadi pelajaran bagi pengusaha nakal lainnya agar buruh tak ditindas," katanya.

Sementara itu, aksi tersebut ditemui oleh Jaksa Penuntut Umum Kejari, Iwan Winarso. Iwan menyatakan, tersangka sudah dijerat pasal berlapis. "Apa yang dilakukan tersangka itu adalah pelanggaran pidana atas hukum ketenagakerjaan," katanya.

Tersangka yang bernama Slamet Yasin telah melanggar hak normatif, antara lain, ditemukan tak membayar sesuai UMK, buruh tak mendapat jaminan sosial ketenagakerjaan, serta hak cuti dan hak lembur. "Karena kasus ini adalah kasus pertama yang terjadi di Kota Malang, kami tak akan main-main. Penanganannya akan menjadi tolok ukur penanganan kasus sengketa perburuhan di Kota Malang," ungkap Iwan. (MALANG, KOMPAS.com)
Baca Selengkapnya